Senin, 28 April 2008

FLY OVER, kebutuhan atau sekedar mengejar gengsi ??

Tanggapan atas rencana pembangunan FO di Pontianak; untuk mata kuliah Teori Kritik Arsitektur.


Beberapa minggu yang lalu, muncul wacana di Harian Pontianak Post mengenai rencana pembangunan Fly Over (FO) di bundaran Tugu Digulist, Pontianak. Beberapa dasar pertimbangan perlunya pembangunan FO ini, menurut Marzuki , salah satu warga yang diwawancarai oleh harian tersebut, adalah yang pertama, kemacetan di sekitar bundaran tugu akibat adanya pemasangan lampu merah yang menyebabkan antrian cukup panjang. Kedua, kawasan tersebut sering kali menjadi tempat mahasiswa menggelar berbagai aksi demo. Dan ketiga, FO tersebut juga akan menjadi icon kota Pontianak.

Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Ir. H. Abdul Hamid, M.Eng, Guru Besar Fakultas Teknik jurusan Sipil Universitas Tanjungpura. Menurut Hamid perlu ada sesuatu yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan ruas jalan dan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor salah satunya bisa dilakukan dengan pelebaran jalan atau membangun FO. Lebih lanjut, Hamid menambahkan salah satu keuntungan dengan dibangunnya FO adalah untuk menambah gengsi kota Pontianak itu sendiri (Sumber: Pontianak Post).

Namun seberapa krusialkah flyover yang rencananya akan dibangun di sekitar kawasan tugu Digulist tersebut?

Flyover hanyalah salah satu dari beberapa sistem traffic management yang bisa diterapkan untuk mengatasi traffic congestion (-kemacetan); yaitu suatu kondisi pada jaringan yang ditandai dengan penurunan kecepatan, masa tempuh yang lebih lama dan bertambahnya atrian. Pada kondisi ekstrim, kendaraan akan berhenti sepenuhnya untuk suatu periode waktu (Sumber: Wikipedia).

Kerugian yang diakibatkan oleh traffic congestion, antara lain: (1) peningkatan waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai ke tujuan; (2) penundaan/ keterlambatan; (3) waktu tempuh yang diperlukan tidak dapat diperhitungkan secara tepat; (4) pemborosan bahan bakar dan polusi udara; (5) kampas rem dan karet ban menjadi cepat aus akibat kendaraan yang semakin sering jalan dan berhenti; (6) stress yang dialami oleh pengendara; (7) jalur yang terblokir bisa menjadi masalah dalam situasi darurat.

Beberapa pertimbangan dalam menentukan perlu tidaknya pembangunan sebuah FO diantaranya; traffic counting, yang menghasilkan nilai perbandingan antara kapasitas jalan dengan jumlah kendaraan yang melewatinya. Nilai tersebut menjadi indikator kondisi jalan, masih ideal ataukah over-loaded. Yang kedua, benefit cost; masalah kemacetan telah mengakibatkan banyak kerugian dari segi ekonomi (telah dibahas diatas). Solusi yang ditawarkan diharapkan dapat menekan angka kerugian. Namun, ia juga harus realistis, dengan mempertimbangkan biaya yang diperlukan, seperti biaya pembangunan infrastruktur baru.

Bila traffic counting mengindikasikan kondisi yang tidak ekstrim, maka jalan terbaik mungkin adalah dengan menerapkan traffic management yang lebih baik. Seperti pengaturan lampu merah yang (sudah ada di kawasan tersebut). Untuk lebih extrimnya dapat dengan membuat jalan lingkar.

Solusi tradisional yang umunya diterapkan untuk mengatasi traffic congestion adalah dengan meningkatkan supply, yaitu dengan menambah lebar maupun ruas jalan; atau dengan menurunkan demand, dalam hal ini menurunkan jumlah kendaraan yang melewati ruas jalan tersebut. Keduanya berfungsi agar ruas jalan tidak over loaded dan arus lalu lintas bisa tetap dipertahankan.

Seorang ekonom, Anthony Downs, dalam bukunya Stuck in Traffic (1992) dan Still Stuck in Traffic (2004) mencoba menawarkan solusi dari sudut kapitalis. Pemecahan masalah dilakukan dengan menurunkan demand melalui pemberlakuan road pricing.

Tidak dapat dibantah terjadinya traffic congestion di titik pertemuan bundaran Digulist dan apabila masalah tersebut tidak diberikan solusinya, maka akan menjadi semakin buruk. Namun, para perencana kota Pontianak selayaknya arif dalam menentukan solusi mana yang akan dipakai dengan mempertimbangkan semua aspek yang mempengaruhi, dan tidak hanya semata-mata untuk meningkatkan citra kota saja.

Rabu, 23 April 2008

Living in a Freak World

Apakah sebenarnya manusia itu? Berapa banyak standar yang dimiliki setiap pribadinya? Apakah semua hal bisa dijustifikasi?
Intinya aq bingung....!! Pernah ngebayangin apa jadinya Indonesia dalam 10 tahun mendatang? lebih baikkah? atu bahkan kehidupan masyarakatnya makin parah... kemiskinan di mana2... manusia tidak hidup selayaknya manuasia lagi.. dan kita menciptakan makhluk baru, berwujud manusia.. dengan tangan-kaki lengkap dengan semua atribut yang menekankan kemanusiaannya.. namun tidak dianggap manusia... dinajiskan dan terbuang dari masyarakat.

Lain lagi dengan pudel2 birokrat dan konglomerat (tidak mengeneralisasi.. namun sebagian besar memang tidak perduli dengan nasib bangsanya, benar bukan??) Mereka wara-wiri keluar masuk ruang sidang, bertameng demi kepentingan rakyat.. padahal yang mereka bela itu kepentingannya sendiri. Mulut serakah ga brenti ngunyah rupiah.. eh salah, sebentar lagi pasti pegen diganti dollar.. biar keren katanya... mata jelalatan.. ga boleh lihat lahan nganggur.

cape.... kapan bangsa ini bisa bener? setiap kali ditanya.. langsung dijabarkan ini dan itu.. bukti2 fakta ga jelas....which everybody know were juz made up. Kemana semangat reformasi?? Di era pemberantasan korupsi ini, orang2 malah makin gila.. gila kekuasaan.. gila harta... parahnya lagi, justru bangga dengan hasil melintah seperti ini.....

living in a freak world...!

I am Unique

Dunia ini diciptakan dengan penuh warna. Jadi kenapa harus sama?? Sejarah telah mencatat berbagai usaha manusia untuk menyeragamkan ras manusia ini.
Beberapa nama seperti Hitler, Mussolini, Saddam Hussein, Rezim Taliban and masih banyak nama lagi, adalah bukti kegilaan manusia dalam mencapai homogenitas (which we all know that they've failed).


Seperti halnya ras manusia yang diciptakan berbeda-beda, manusia sebagai individu juga merupakan personalized production (anggaplah manusia ini sebagai 'product' penciptaan). Seringkali dalam keseharian, kita mendengar cibiran yang diberikan kepada orang yang mungkin penampilannya tidak menarik lantas dibilang "ga gaya" atau orang-orang yang memiliki pandangan pribadi yang menentang mainstream diberi label "aneh".
Jelas tergambar bahwa ada semacam unwritten common standard yang terkesan harus dipatuhi... majority define the standard.

Can u believe that?? Pernah terbayangkan seandainya semua orang itu sama?? Monochrome..
...........tulisan terputus and digantikan ilustrasi ala TV item putih ......................

Tidakkk....!
I choose to say No!! Kenapa harus meredam segala keindahan yang ada dalam diri setiap individu, hanya untuk mendekati common standard tadi?

I am happy with the way I am. And I am not going to be somebody else just in order to fit in.
I am unique and so do you.....